Monday, November 15, 2010

Gelar Pahlawan Bagi Soeharto dan Gusdur : Mendukung atau Menolak?



Belum lama kita lewati hari pahlawan 10 November lalu (sekalian deh...ngucapin selamat hari Pahlawan 2010), dan belum lama juga kita dengar ide pengangkatan 10 orang putra bangsa sebagai Pahlawan Nasional. Dua di antara sepuluh nama itu adalah dua mantan presiden RI, sekaligus dianggap sebagai 2 orang yang kontroversial untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional. Siapa lagi jika bukan mantan presiden Soeharto dan mantan presiden Abdurrahman Wahid (GusDur).



Di antara sekian alasan pengangkatan (alm.)Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah jasanya yang tak bisa di bilang kecil di masa awal-awal kemerdekaan dan di era orde baru. Soeharto memimpin serangan umum 1 Maret 1949 dan berhasil membebaskan kembali Yogyakarta dari tangan Belanda. Peristiwa ini kemudian diperingati dengan membangun MonJaLi (Monumen Jogja Kembali) karena begitu pentingnya peristiwa tersebut bagi keberlangsungan negara Indonesia yang baru seumur jagung namun harus menghadapi kekuatan imperialis global yang di simbolkan dengan Belanda. Di masa orde baru, Soeharto pun mengukir banyak prestasi. Morat-maritnya kondisi ekonomi yang diwariskan pendahulunya (mantan Presiden Soekarno) diperbaiki dengan telaten melalui masa yang panjang, memperkenalkan konsep program Pelita (Pembangunan Lima Tahun), bahkan kabinetnya diberi nama Kabinet Pembangunan, hingga akhirnya Indonesia sempat mencapai swasembada beras dan bahkan menjadi salah satu macan asia. Namun sejarah juga mencatat Soeharto sebagai bapak bagi otoritarian orde baru, sepenggal episode kelam Indonesia, di mana sejarah banyak dimanipulasi, hak-hak berpendapat dibungkam, menjamurnya kejahatan politik, dan tumbuh suburnya KKN. "SUBVERSIF" kemudian menjadi kata paling angker dalam rezim ini, pada saat di mana ABRI (waktu itu belum di pisah menjadi TNI dan Polri) tampil menjadi alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan (dwifungsi ABRI menyatakan, selain sebagai menjalankan fungsi hankam, ABRI juga memiliki akses ke ranah sosial politik). Catatan-catatan inilah yang menjadi ganjalan bagi gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto.



Sedangkan Abdurrahman Wahid (juga alm, lebih lanjut disebut dengan panggilan akrabnya, GusDur) memimpin di masa awal reformasi setelah pemerintahan transisi BJ. Habibie. Di masa-masa yang penuh konflik horizontal tersebut GusDur menjadi pendorong rekonsiliasi nasional dan Bapak Pluralisme. Saat itu kita bisa melihat etnis Tionghoa menggunakan nama asli dalam bahasa mereka, dan kita mulai dapat menyaksikan tarian barongsai, bahkan dalam peringatan 17 Agustus sekalipun. Tidak sedikit andil GusDur dalam menyatukan keberagaman di Indonesia, namun dalam beberapa hal idenya dinilai kebablasan. Munculnya bahaya laten komunis, beberapa pandangan pluralisme yang melahirkan liberalisasi pemikiran agama, dan skandal korupsi (saya agak lupa, Buloggate, Bruneigate atau malah keduanya). Komentarnya terhadap masalah-masalah bangsa juga dinilai nyeleneh (ada yang berpendapat juga sebenarnya komentar-komentar tersebut bukan nyeleneh, namun terlalu cerdas untuk dapat dipahami oleh orang kebanyakan). Aksi GusDur di masa pemerintahannya akhirnta memicu DPR melakukan impeachment, namun serangan balik GusDur sungguh mengejutkan. GusDur adalah presiden RI kedua yang mengeluarkan dekrit, setelah presiden Soekarno. Salah satu isi dekrit tersebut adalah "membekukan" DPR (perlu diketahui bahwa Presiden adalah lembaga tinggi negara setingkat dengan DPR, BPK, MA). Akhirnya, GusDur dilengserkan dengan gerakan mahasiswa sebagaimana Soeharto (walaupun tidak sebesar aksi penurunan Soeharto).
Kedua calon Pahlawan Nasional itu memang tidak sempurna. Namun jika kita mau bertanya pada diri sendiri, tanyakan: "Apakah ada manusia sempurna?". Kita yang mungkin mendukung penganugerahan gelar kepada mereka atau yang menolaknya pun bukanlah sosok manusia yang sempurna. Lantas, apa masalah yang akan timbul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita jika pemberian gelar Pahlawan Nasional diberikan atau tidak diberikan kepada mereka? Apakah masalah itu begitu krusial dan sangat signifikan? Atau apakah keduanya yang sudah berada di alam sana membutuhkan gelar itu? Tidak! Bahkan keduanya tengah menghadapi hari-hari yang gawat, mempertanggungjawabkan hidup mereka selama ini.
Daripada berpikir pantas tidaknya pemberian gelar pahlawan, alangkah baiknya jika kita menanamkan jati diri pahlawan dalam jiwa kita, dengan bertekad memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan keduanya dan melanjutkan terobosan-terobosan baik yang telah dipelopori oleh mereka. Ingatlah, bisa jadi kontribusi kita bagi negeri ini masih lebih kecil dari mereka, padahal kesalahan kita lebih banyak dibanding kesalahan yang mereka perbuat.

No comments:

Post a Comment