Thursday, April 28, 2011

Terorisme dan Narsisme


Jaringan Pepi

Apa yang berbeda dengan teror bom gaya baru akhir-akhir ini? Terakhir, setelah kepolisian menangkap 20 tersangka jaringan teror bom buku, diketahui bahwa latar belakang pelaku “sangat” berbeda dengan latar belakang yang selama ini menjadi “stereotype” teroris. Tersangka jaringan yang ditangkap tersebut memiliki tingkat ekonomi lebih baik dan mengenyam pendidikan yang lebih modern dan formal, lebih jauh lagi beberapa tersangka sempat mengenyam dunia profesi yang dinilia “sekuler” dan bahkan merupakan orang-orang yang selama ini beripikiran dan bertingkah “sekuler” dalam kesehariannya.
Teror bom gaya baru lebih “rame”, walaupun dari segi kerusakan yang ditimbulkan tidak separah bom-bom pelaku lama, frekuensi terornya lebih sering. Hal lainnya yang menarik adalah target pemboman yang sensasional. Bom buku sempat menarget beberapa tokoh politik dan ormas walaupun akhirnya malah melukai polisi. Polisi yang selama ini mengambil peran sebagai pemburu para pelaku teror bom jusru menjadi target pemboman, yang paling gencar diberitakan mungkin adalah pemboman yang dilakukan di Mesjid di depan Mapolresta Cirebon. Namun, pelaku bom yang tewas juga dalam ledakan tersebut belum tentu jaringan Pepi, karena caranya masih mengikuti gaya lama yaitu dengan aksi bom bunuh diri (meledakkan diri bersama bom), sementara mekanisme pemboman yang dikenal digunakan jaringan Pepi dkk lebih “cerdas” dan tidak membahayakan nyawa mereka misalnya paket bom buku yang dikirimkan dan percobaan peledakan jalur pipa gas Serpong dengan bom yang didetonasi.
Temuan Bom Pipa
Frekuensi yang lebih sering dan target-target yang lebih sensasional mengindikasikan pelaku teror berharap terornya ini mendapat perhatian publik, seperti narsisme yang dikawinkan dengan terorisme. Sebagai jaringan baru dengan gaya teror baru kelompok ini seperti memang ingin agar aksi-aksinya diliput media dan diberitakan dengan bombastis. Pemberitaan yang masif ini juga mendukung tujuan mereka, selain eksistensi juga menyebarnya rasa takut di kalangan masyarakat. Dengan demikian tercapailah esensi dari tujuan teror mereka yaitu menyebarnya rasa takut. Kita masih belum tahu, rencana apa yang akan mereka lakukan setelah masyarakat dilanda rasa takut, karena tentu saja masyarakat yang panik dan takut mudah di giring kepada “chaos”, ketidakstabilan akan ikut nimbrung, ketidakstabilan sosial, ekonomi, politik. Masyarakat dalam kondisi begini tentu saja lebih mudah dikendalikan oleh “sang dalang”.
Gejala narsisme dalam terorisme ini juga sangat berbahaya terutama terkait penyebaran ideologi terorisme itu sendiri. Eksistensi kelompok teror melalui pemberitaan aksi-aksi teror yang masif juga mampu menjadi inspirasi kelompok masyarakat tertentu untuk membentuk kelompok teror lainnya yang mandiri. Terungkapnya oleh media bahwa kelompok teror baru ini mampu melakukan aksi “heboh” walau berbekal kemampuan teknis dari buku dan internet seolah mengajarkan pada masyarakat “siapa aja bisa bikin bom, kalo kamu mau kamu pun bisa bikin bom” terutama generasi muda yang tidak tersibukkan dengan aktivitas produktif dan mudah terpengaruh akibat krisis identitas. Bukan tidak mungkin, narsisme terorisme akan melahirkan generasi yang justru bangga jika berhasil melakukan aksi-aksi teror dan dikenal sebagai teroris atau kelompok teroris.

No comments:

Post a Comment