Singapura dan Malaysia "Jual" Indonesia untuk Tarik Investor* |
Indonesia ternyata masuk dalam paket tawaran daya saing Singapura dan Malaysia. Kedua negara tersebut menjual Indonesia yang memiliki pangsa pasar besar kepada para investor asing agar mau membangun pabrik di negeri mereka.
Ketua Bidang Perdagangan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Harry Warganegara mengatakan, Singapura dan Malaysia menawarkan Indonesia kepada investor sebagai pangsa pasar menarik bila berinvestasi di kedua negara tetangga tersebut.
"Jadi yang membuat investor seperti RIM, Bosch dan perusahaan pengelola kakao Barry Callebout datang ke Singapura atau Malaysia sebab daya saing dalam negeri mereka dan pasar yang besar Indonesia yang dekat dengan mereka. Dengan kata lain, Indonesia masuk dalam paket tawaran daya saing mereka. Ini kan menyakitkan," papar Harry, Senin (12/9).
Dia menjelaskan, sebenarnya tak hanya produsen Blackberry dan Bosch yang menginginkan Malaysia atau Singapura sebagai lokasi investasi, tapi hampir semua industri memilih membangun pabrik atau kantornya di negara jiran itu. Sementara, Indonesia hanya menjadi pasar dan penyedia bahan baku. "Barry Callebout membangun pabrik coklat di Singapura. padahal negara ini tidak punya satu pun pohon kakao," papar Harry.
Dia juga menilai promosi investasi yang digencarkan pemerintah tidak efektif menarik minat pemodal. Pasalnya, persoalan yang paling mendasar yakni daya saing Indonesia (RI) tak kunjung mengalami perbaikan bahkan mengalami penurunan.
Sejumlah perusahaan besar seperti RIM dan Bosch memang memilih Malaysia atau Singapura sebab daya saing infrastruktur dan manufakturnya lebih menarik dari Indonesia, selain lobi-lobi Indonesia juga sangat lemah pada tingkat korporasi. "Percuma promosi gencar-gencar kalau perbaikan ke dalam tidak berlangsung. Lobi-lobi kita juga sangat lemah," ujar Harry.
Hal yang sama terjadi pada industri lainnya. Sebagian besar industri-industri telekomunikasi, informasi, mikro chip, dan komunikasi dunia lebih memilih Malaysia atau Singapura sebagai basis industri mereka di Asia Tenggara meski pasar terbesar jelas-jelas berada di RI. "Di industri keuangan, asuransi hal yang sama juga terjadi. Headquarter (kantor pusat)-nya di sana. Pasar terbesarnya di Indonesia," ujar Harry.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi kesal Singapura dan Malaysia "menjual" Indonesia kepada investor asing agar mau membangun pabrik di negara mereka. Karena itu pemerintah diminta memberlakukan tarif bea masuk normal kepada produk smartphone Blackberry yang diproduksi di Malaysia. Ini dilakukan agar Indonesia tidak dimanfaatkan oleh negara-negara tetangga sebagai pasar.
Menurut Achsanul, tarif nol yang diberlakukan untuk bea masuk Blackberry membuat produsen Blackberry lebih tertarik membangun pabrik di negara tetangga Indonesia.
Pasalnya, selain mendapat pangsa pasar yang besar, pihaknya juga tidak diribetkan oleh aturan-aturan investasi di Indonesia. Hal ini yang menjadi bahan "jualan" negara tetangga untuk mengiming-ngimingi investor. "Kalau itu dilakukan, itu menguntungkan mereka dan merugikan kita. Mereka itu sudah berkali-kali. Ini sama saj menusuk kita dari belakang. Pasar Indonesia memang besar 4 kalinya pasar Malaysia. Jadi wajar saja mereka (Malaysia dan Singapura) mengatasnamakan kita," ujarnya. (dtf/ant)
dikutip dari harian Medan Bisnis, 13/9/2011
*sumber gambar: http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/09/13/54675/ilustrasi_wacana_13_september_2011/#.Tm8Q-2Gbe2Y
kalau menurut aku sih, mas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk masalah ini. Intinya Indonesia pasar yang potensial, tetapi hanya sekedar pasar. Sebab Indonesia hanya sebagai penampungan barang2 impor yang pastinya akan laku keras. Kenapa bisa begitu? Ini alasannya:
ReplyDeletepertama, dari sisi kebijakan pemerintah, terkait dengan investasi. Pemerintah kita kurang bisa "memaksa" investor untuk memiliki pabrik di Indonesia, namun mereka tetap bisa menjual produk di Indonesia. Dulu, Indonesia berhasil memaksa produsen mobil agar punya pabrik di Indonesia. Sehingga produksi mobil hampir 80% dibuat di Indonesia.
Kedua, kebijakan yang terkait dengan bea masuk, bea masuk yang rendah menyebabkan pasar kita kebanjiran berbagai produk dari luar dengan harga yang relatif rendah dan membuat produksi kita menjadi kurang kompetitif. Coba kalau dikasih bea masuk mahal, pasti mereka mikir secara ekonomi bahwa akan lebih murah bikin pabrik di Indonesia.
Ketiga, masyarakat kita yang cenderung konsumtif dan asal british, asal dari luar pasti jadi trend.
Jadi titik masalah bukan hanya satu. Jika ingin dibenahi, entah harus mulai darimana, mas..
@anonymous:
ReplyDeletehmmm...soal bea masuk tu diatur nggak ya dalam FTA-FTA yang diikuti Indonesia (kan ada banyak tuh FTA-nya, terkait singapura n malaysia mungkin kena' nya AFTA...) soalnya kalo pabriknya di singapur atau malay, produk tsb statusnya kan impor dari sana...bukan negara pemilik pabrik...(misalnya, RIM-Kanada, jadi RIM-Malaysia)...
kalo mau naikin bea msuk mungkin perlu cek dulu poin2 di AFTA...jangan2 udah ada kesepakatan soal tarifnya yang g bisa kita kutak-katik secara sepihak kan?
saia pikir begitu...maju kena mundur kena :-o
seratus persen bener mas El Cuarto. Masalah AFTA, saya pernah menuliskan di salah satu media, bahwa Pemerintah sangat kurang melakukan sosialisasi setelah penandatanganan perjanjian tersebut.
ReplyDeleteYang saya maksudkan sosialisasi disini bukan hanya sekedar "mengumumkan" kepada masayarakat, tetapi juga edukasi bagi masyarakat, terutama UKM, sebelum pelaksanaan. Toh, banyak celah yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia, namun sayangnya celah tersebut tidak termanfaatkan. Sebagai contoh, fasilitas yang dikenal sebagai Early Harvest Program dan adanya mekanisme perlindungan (safety guard mechanism) jika dinilai ada sektor-sektor yang mengalami kerugian atau akibat harga yang terlalu murah. Yang dimaksud dengan Early Harvest Program adalah bahwa Indonesia mengajukan 14 item produk sektor pertanian yang dikeluarkan dari perjanjian perdagangan bebas. Ini tidak termanfaatkan dengan baik oleh Indonesia.
Akibatnya? Yah, seperti mas katakan, maju kena mundur kena..