UN Meneror Siswa ? |
Jika teror adalah sesuatu yang menimbulkan rasa takut atau ketakutan, kemudian teroris adalah orang/pihak yang menimbulkan teror atau kecemasan bagi orang lain, maka kita dapat mengkategorikan UN (Ujian Nasional) sebagai teror dan para pejabat yang telah merumuskan UN beserta segenap regulasinya adalah teroris yang menebar teror kepada jutaan siswa-siswi sekolah di Indonesia. Mengapa? Karena, jelas-jelas UN dengan segenap aturannya telah menjadi sesuatu yang sangat mencemaskan dan menkutkan bagi sekian banyak generasi muda bangsa Indonesia di sekolah-sekolah dasar dan menengah di seluruh penjuru tanah air.
UN dengan sistem nilai rerata minimum dan nilai minimum yang mulai diregulasikan sejak 2004 silam memang telah menelan banyak korban. UN telah menimbulkan korban perasaan, keyakinan dan bahkan korban jiwa. Korban-korban tersebut dari yang melakukan perbuatan nyeleneh agar bisa lulus UN seperti mendatangi tempat-tempat keramat untuk meminta berkah, atau yang stress sebelum UN dan lebih stress lagi setelah tahu dirinya tidak lulus, bahkan yang putus asa dan tidak merasa perlu untuk melanjutkan hidupnya setelah gagal UN sehingga mengambil "inisiatif" bunuh diri. Ada apa dengan UN yang katanya dirancang untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia ini?
Peraturan UN memang bisa menjadi sangat berat bagi siswa yang mempunyai harapan melanjutkan pendidikan mereka. Jika seseorang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tertentu dalam UN (rerata minimum dan nilai minimum untuk mata ujian pelajaran tertentu) dan dinyatakan tidak lulus UN, maka siswa tersebut terancam tidak dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, walaupun dalam seleksi untuk diterima di pendidikan selanjutnya ia telah lulus. Bahkan tidak lulus UN saat ini telah menjadi aib yang sangat memalukan bagi siswa yang bersangkutan dan keluarganya. Walaupun pada kenyataannya, fenomena tidak lulusnya siswa yang cerdas dalam prestasi belajar hariannya telah terjadi berkali-kali. Ini membuktikan seseorang yang lulus UN belum tentu orang yang cerdas, walaupun mereka yang cerdas lebih berpeluang untuk lulus.
Mungkin, yang membuat kita mengernyitkan dahi adalah bahwa UN yang pelaksanaannya selama beberapa hari saja seolah menjadi penentu sukses tidaknya seorang siswa selama ia mengikuti pendidikan di sekolah selama beberapa tahun. Nilai UN yang buruk mampu menghapus semua nilai ulangan yang baik maupun nilai ujian semester yang sempurna. Walaupun saya dulu berhasil lulus UN (saya ikut UN yan pertama kali diadakan yaitu tahun 2004), saya tetap tidak mampu mengatakan bahwa UN adalah sistem ujian yang adil bagi siswa untuk menilai mereka lulus sekolah atau tidak. UN seolah tidak peduli pada prestasi harian yang dicatatkan siswa selama bertahun-tahun ia sekolah.
sumber gambar : suduthati.com
UN dengan sistem nilai rerata minimum dan nilai minimum yang mulai diregulasikan sejak 2004 silam memang telah menelan banyak korban. UN telah menimbulkan korban perasaan, keyakinan dan bahkan korban jiwa. Korban-korban tersebut dari yang melakukan perbuatan nyeleneh agar bisa lulus UN seperti mendatangi tempat-tempat keramat untuk meminta berkah, atau yang stress sebelum UN dan lebih stress lagi setelah tahu dirinya tidak lulus, bahkan yang putus asa dan tidak merasa perlu untuk melanjutkan hidupnya setelah gagal UN sehingga mengambil "inisiatif" bunuh diri. Ada apa dengan UN yang katanya dirancang untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia ini?
Peraturan UN memang bisa menjadi sangat berat bagi siswa yang mempunyai harapan melanjutkan pendidikan mereka. Jika seseorang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tertentu dalam UN (rerata minimum dan nilai minimum untuk mata ujian pelajaran tertentu) dan dinyatakan tidak lulus UN, maka siswa tersebut terancam tidak dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, walaupun dalam seleksi untuk diterima di pendidikan selanjutnya ia telah lulus. Bahkan tidak lulus UN saat ini telah menjadi aib yang sangat memalukan bagi siswa yang bersangkutan dan keluarganya. Walaupun pada kenyataannya, fenomena tidak lulusnya siswa yang cerdas dalam prestasi belajar hariannya telah terjadi berkali-kali. Ini membuktikan seseorang yang lulus UN belum tentu orang yang cerdas, walaupun mereka yang cerdas lebih berpeluang untuk lulus.
Mungkin, yang membuat kita mengernyitkan dahi adalah bahwa UN yang pelaksanaannya selama beberapa hari saja seolah menjadi penentu sukses tidaknya seorang siswa selama ia mengikuti pendidikan di sekolah selama beberapa tahun. Nilai UN yang buruk mampu menghapus semua nilai ulangan yang baik maupun nilai ujian semester yang sempurna. Walaupun saya dulu berhasil lulus UN (saya ikut UN yan pertama kali diadakan yaitu tahun 2004), saya tetap tidak mampu mengatakan bahwa UN adalah sistem ujian yang adil bagi siswa untuk menilai mereka lulus sekolah atau tidak. UN seolah tidak peduli pada prestasi harian yang dicatatkan siswa selama bertahun-tahun ia sekolah.
sumber gambar : suduthati.com
No comments:
Post a Comment